Dji’ih, sepupu
yang juga termasuk teman seperjuangan Pitung, juga diyakini tinggal dan
dimakamkan di Kemandoran, yang juga masuk wilayah Rawa Belong. Hanya saja,
serupa dengan Pitung, tak ada bekas peninggalan yang tersisa tentang sosok Dji’ih
yang namanya juga masih harum di seantero Rawa Belong.
Salah satu
upaya untuk menjaga kelestarian sejarah Si Pitung dilakukan warga Rawa Belong
dengan membangun Lembaga Agama dan Kebudayaan Sanggar Si Pitung, yang didirikan
pada 1995. Di sanggar yang terletak di Jalan Yusuf RT 004 RW 011 No 8, Rawa
Bellong, Kebon Jeruk, Jakarta Barat inilah, anak-anak serta remaja Rawa Belong
menimba ilmu mengaji dan silat khas Rawa Belong. Cingkrik, begitu aliran silat
itu tersohor.
Cingkrik adalah
silatnya khas Rawa Belong. Istilah cingkrik sendiri muncul dari ungkapan
Betawi, yaitu ‘jingkrak-jingkrik- atau ‘cingkrak-cingkrik’, yang berarti gesit
dan lincah. Keunikan silat ini adalah pelakunya yang selalu melompat-lompat
layaknya kera. Dari gerakan jejingkrakan itulah, nama Cingkrik akhirnya
diabadikan.
Di kampung Rawa
Belong Cingkrik menjadi besar. Saat ini sedikitnya terdapat 200 murid yang
saban hari mengaji dan belajar silat di sanggar. Semuanya tanpa dipungut biaya.
Soal darimana pemasukan sanggar, itu berasal dari tiap-tiap undangan yang datang
kepada mereka untuk mengisi beberapa acara kebudayaan Betawi ataupun tiap acara
pernikahan Betawi yang menginginkan adat Betawi.
MENGENAL SOSOK
SI PITUNG
Pitung adalah
pahlawan yang sangat melegenda. Dia adalah si bungsu dari iga bersaudara, anak
pasangan Piun dan Pinah. Sebagian kalangan meyakini Pitung lahir di Rawa Belong
pada 1874. Diyakini pula dia meninggal ada usia 29 tahun, di tahun 1903, di
daerah Bandengan Utara, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Sejak kecil dia belajar mengaji dan silat di
langgar yang ada di Kampung Rawa Belong.
Versi lain
meyakini Pitung lahir di Kampung Cikoneng, Tangerang. Pitung baru bermukim di
Rawa Belong saat usia delapan tahun ketika kedua orang tuanya bercerai. Ibunya
menolak dijadikan istri tua dan mengajak Pitung hijrah. Sang Ayah, Piun, tetap
menetap di Cikoneng bersama istri muda dan tetap bekerja pada tuan tanah Cikoneng.
Sejak remaja,
Pitung mengembara ke berbagai wilayah, seperti Tanah Abang, Penjaringan, hingga
Banten. Di sana dia menimba ilmu dan memperdalam agama. Masyarakat Betawi saat
itu mengenal kewajiban, pemuda Betawi harus bisa mengaji dan jago pukul. Salah
satu ilmu yang dipelajari Pitung adalah Rawarontek, yang didapatnya saat
berguru kepada Haji Naipin di Kampung Kemayoran.
Rawarontek
merupakan ajian dari gabungan tarekat Islam dengan jampi-jampi Betawi. Berkat
ilmu itu, konon Pitung menjadi tangguh lantaran mampu menyerap energy musuh-musuhnya.
Pitung juga memiliki ajian Halimun, yang membuatnya mampu menghilang dari
pandangan lawannya. Kesaktian Pitung makin lengkap saat ia memiliki ajian
Pancasona, yang membuatnya kebal dan akan tetap hidup selagi menyentuh tanah.
Aksi si Pitung
dimulai saat sepulang dari Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat. Uang hasil
penjualan kambingnya dirampas kelompok Daeng Marais alias Rais, jawara berdarah
Bugis. Pitung takut pulang ke rumah sebelum uangnya kembali. Dari situ, babak
baru Pitung dimulai.
Aksi kelompok
Pitung berlangsung selama 16 bulan, sejak 26 Juni 1892 sampai 19 Oktober 1893.
Pitung dan Dji’ih merampok orang-orang kaya yang jahat. Salah satu balas
dendamnya adalah dengan merampok harta Haji Syaifuddin, seorang tuan tanah kaya
di daerah Marunda, Jakarta Utara. Rumah Haji Sayaifuddin yang diramnpok Pitung
itulah yang sekarang ditetapkan sebagai benda cagar budaya DKI Jakarta, dan
diberi nama ‘Rumah Si Pitung’.
Hari terakhir
si Pitung, mati setelah ditembak dengan peluru emas oleh Schout van Hinne dalam
suatu penggerebekan. Peluru emas digunakan karena Pitung dikabarkan kebal
dengan peluru biasa. Begitu takutnya penjajah terhadap Bang Pitung sampai
tempat dia dimakamkan pun dirahasiakan.
Namun
masyarakat Rawa Belong sejak turun temurun percaya makan Pitung berada di sisi
kanan depan Gedung Telkom, Jalan Palmerah Utara No 80, Kebayoran Lama, Jakarta
Barat. Meski terlihat tak terawat, untuk waktu-waktu tertentu, banyak orang
yang datang berziarah di sini.
WANGI PASAR
BUNGA RAWA BELONG
Pasar Rawa
Belong bisa menjadi penyegar perjalanan menyusuri jejak Pitung. Konon, selesai
berguru kepada Haji Naipin, Pitung pulang ke Rawa Belong. Dia bekerja sebagai
pengunduh (penebas) dari pohon-pohon yang panen. Buah-buah yang dipetiknya
lantas dijual di pasar ini.
Pasar Rawa Belong
kini maju pesat. Pasar yang disebut-sebut ada sejak awal abad ke 19 ini menjadi
salah satu primadona Jakarta dan Indonesia. Luas lahannya yang mencapai. 1,4
hektar, Pasar Bunga Rawa Belong dikenal sebagai pusat penjualan bunga terbesar
di Asia Tenggara.
Pasar Rawa
Belong tepatnya berlokasi di Jalan Sulaiman, Rawa Belong. Letaknya, tak jauh
dari pertigaan Rawa Belong yang membelah Rawa Belong lama di Jakarta Selatan
dengan Palmerah di Jakarta Barat. Memasuki pasar bunga ini, mata kita langsung
dimanjakan jejeran ribuan bunga yang siap dijual. Bunga didatangkan dari
berbagai daerah, mulai Cianjur, Blora, hingga dari Jawa Timur. Jika ditotal,
ada 700 pedagang di pasar ini yang berjualan secara turun temurun. Pasar Rawa
Belong mencatat omzet Rp 40 miliar per tahun dari tiap transaksinya.
RUMAH SI PITUNG DI KAMPUNG
MARUNDA
Orang menyebut
bangunan rumah panggung model Bugis Melayu yang terletak di Jalan Kampung
Marunda Pulo, Kelurahan Marunda, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara ini,
sebagai Rumah Si Pitung. Rumah yang mempunyai halama seluas 700 meter persegi
ini kondisinya Nampak gagah dan terawatt lantaran baru direnovasi dua tahun
silam. Konon, model panggung tak terlepas dari kondisi sejarah Marunda yang
awalnya hingga sekarang masih didominasi rawa-rawa yang ditumbuhi pohon bakau.
Sebagian rumah warga lainnya juga masih mempertahankan bentuk model rumah
seperti ini.
Rumah Pitung
didominasi warna cat merah delima. Bangunannya memiliki panjang 24 meter dan
lebar 15 meter. Ada sekitar 40 buah tiang setinggi dua meter untuk menopang
bangunan ini. Lantaran model panggung, maka kita harus menaiki tangga setinggi
tiga meter untuk bisa masuk ke dalam rumah bersejarah ini.
Rumah Si
Pitung berlantai kayu papan. Di pintu masuk, tertulis pengunjung tak lebih dari
lima orang sekali masuk, agar lantai tidak ambruk. Akses masuk an keluar dibuat
pada satu pintu, yakni dari teras depan rumah. Di sinilah ‘Bang Pitung’
menyambut. Bagian teras diisi meja bulat plus kursi serta empat stoples khas
Betawi. Manekin (patung peraga) di teras ini menjadi pencuri perhatian bagi siapa
pun yang datang. Pitung digambarkan dengan kostum dan peci hitam serta sarung
hijau menggantung di leher.
Bangunan
panjang ke belakang. Terdapat satu kamar tidur dan masing-masing satu ruang
makan dan dapur. Di dalam rumah pun terdapat beberapa perabot gaya Betawi,
seperti meja dan kursi makan kuno dengan teko kendi berbahan tanah liat, tempat
tidur lengkap dengan kelambu, peralatan dapur, alat musik khas Betawi, dan
congklak yang diletakkan di ruang tengah bangunan.
Dari lantai
menuju langit-langit, bangunan ini hanya setinggi tiga meter. Harus sesekali
merunduk jika melangkah melewati kayu peyangga atap. Di dinding kayu sekeliling
rumah, terdapat panel yang memuat kisah si Pitung yang dikutip dari artikel “Si
Pitung, Perampok atau Pemberontak”, yang ditulis buayawan Ridwan Saidi pada
2009.
Dari informasi
di dinding itulah, kesejatian bangunan ini didapat. Walaupun diberi nama Rumah
Si Pitung, sejatinya bangunan ini bukan rumah kelahiran atau milik keluarga
Pitung. Rumah panggung yang tak jauh dari Rumah Susun Marunda ini sebenarnya
milik Haji Syaifuddin, seorang tuan tanah asal Bugis yang rumahnya sempat
dijarah Pitung dan kawanannya. Selain merampok, di rumah ini Pitung juga sempat
bersembunyi untuk beberapa malam.
Meski sudah
berulang kali direnovasi, tetap ada beberapa bagian lainnya yang tetap
dipertahankan. Yang asli adalah empat tiang di teras depan rumah serta beberapa
jendela dan gagang pintu yang masih dipertahankan nilai sejarahnya.
Di sebelah
Rumah Si Pitung terdapat dua bangunan baru, yang dibangun pada tahun 2010,
dengan arsitektur serupa. Bangunan pertama rencananya untuk perpustakaan.
Sementara bangunan kedua digunakan untuk kantin.
MASJID SI PITUNG DI MARUNDA
Kampung
Marunda Pulo memiliki masjid tertua tempat si Pitung sempat singgah dan
menuaikan sholat, Masjid Al Alam Marunda. Kehadiran Pitung membuat masjid ini
dikenal dan tersohor dengan nama Masjid Si Pitung.
Masjid Al Alam
berdiri sekitar abad ke 16. Posisinya masih di Kampung Marunda Pulo, namun
lebih dekat menuju bibir Pantai Marunda, Jakarta Utara. Jaraknya hanya 200
meter dari Rumah Si Pitung.
Dalam beberapa
catatan sejarah, masjid ini dibangun Fatahillah pada 1527. Cerita waga setempat
secara turun temurun, konon Masjid Al Alam ini hanya dibuat dalam satu malam.
Arsitekturnya mengingatkan kita pada bangunan Masjid Agung Demak.
Bentuk
bangunan masih dipertahankan aslinya. Masjid ini ukurannya tak lebih dari
mushala, luasnya 64 meter persegi (8 x 8 meter). Peninggalan orisinal, terdapat
pada empat pilar besar bantet penyangga masjid. Empat pilar konon mengandung
filosofi pegangan hidup umat manusia : Islam, iman, ilmu, dan amal.
Dulunya,
Pitung menggunakan masjid ini untuk bersembunyi. Di masjid ini dia bisa tak
terlihat dari kejaran kompeni (Belanda). Masjid ini hanya setinggi empat meter
dari lantai menuju langit-langit. Mungkin cukup terasa pengap sebelum pengelola
meletakkan kipas angina di sisi atas dan sudut masjid. Catatan sejarah yang
mengiringi perjalanan rumah Allah ini membuat Masjid Al Alam menjadi lokasi
ziarah favorit para pengunjung senusantara. Biasanya, pengunjung tumplek pada
saat hari-hari raya Islam, termasuk Idul Fitri.
Tak lengkap
pula rasanya jika berkunjung ke masjid ini tanpa mengambil air wudhu di Sumur
Tiga Rasa. Sumur kecil yang terletak persis di sisi sebelah kiri masjid. Nama
sumur diambil lantaran airnya memiliki tiga rasa : asin, pahit, dan payau rasa
air rawa.
Sejumlah
penduduk meyakini, atas izin Allah, air di sumur ini juga berkhasiat untuk
menyembuhkan segala macam penyakit. Pertama kali cicip, mungkin akan berasa air
tawar, kedua kalinya akan berasa tawar layaknya air tanah. Begitu juga ketika
kembali mengambil air untuk ketiga kalinya, airnya akan berubah menjadi asin.
Hal ini mungkin terjadi lantaran posisi sumur yang berada di antara tiga pertemuan
: rawa, air tanah, dan air pantai. Dulunya sumur ini hanya berupa kolam.
Kemudian oleh pengelola masjid dirapihkan dan diubah menjadi sumur karena
banyak yang mengambil air wudhu di tempat ini.
PANTAI MARUNDA
Pantai Marunda
berada 50 meter di belakang Masjid Al Alam. Lokasinya menjadi salah satu tempat
favorit wisata air di Jakarta Utara. Konon, Pitung juga sempat menghabiskan waktu
di pantai ini untuk merenung dan mengasingkan diri. Pantai ini tak ada pasir
karena pinggiran pantai sudah dibangun dinding beton.
Pemandangan indah
akan terlihat sore hari saat kapal-kapal tongkang dari pelabuhan bersandar tak
jauh dari pantai. Di pantai ini, juga ada menu favorit penganan yang dibuat
dari bahan ikan-ikanan. Mulai dari ikan bakar, goreng, pecak, hingga bumbu
rujak, ada semua di sini. Para pedagang makanan berjejer sepanjang bibir pantai
dengan menyediakan jejeran meja untuk santap hidangan. Untuk tarif masuk
pantai, cukup rogoh kocek Rp 2000.
MASJID AL ATIQ DI KAMPUNG MELAYU BESAR
Dalam
kisahnya, Pitung sempat berhasil lolos dari Penjara Meester Cornelis pada 1891.
Setelah lolos berkat kekuatan tenaga dalam, Pitung menyusuri Kali Ciliwung dan
sempat singgah di masjid Al Atiq yang terletak di Jalan Masjid, Kampung Melayu
Besar, Tebet, Jakarta Selatan. Konon, berdasarkan cerita dari turun temurun, masjid
ini memiliki karamah yang mampu membuat tempat ibadah ini tak mampu dimasuki
bala tentara Belanda.
Salah satu
versi menyebutkan, masjid ini pertama kali dibangun pada abad ke 16 oleh sultan
pertama Banten, Maulana Hasanuddin, yang berkuasa pada 1552-1570. Arsitekturnya
serupa dengan Masjid Al Alam Marunda dan Masjid Agung Demak.
bersumber http://indonesia-feature.blogspot.co.id