Rabu, 26 Oktober 2016
Kisah Paling Mengharukan Dalam Kehidupan Rasulullah SAW
Sebenarnya ada banyak kisah-kisah yang mengharukan dalam kehidupan Rasulullah saw. Namun karena keterbatasan ilmu yang saya miliki, hanya beberapa saja yang saya tahu.
1. Detik-detik wafatnya Rasulullah
Pagi itu, Rasulullah dengan suara terbata-bata memberikan petuah: “Wahai umatku, kita semua ada dalam kekuasaan Allah dan Cinta Kasih-Nya. Maka taati dan bertakwalah hanya kepada-Nya.
Kuwariskan dua hal pada kalian, Sunnah dan Al-Qur’an.
Barang siapa yang mencintai Sunnahku berarti mencintai aku, dan kelak orang-orang yang mencintaiku, akan bersama-sama masuk surga bersama aku,”.
Khutbah singkat itu diakhiri dengan pandangan mata Rasullah yang teduh menatap sahabatnya satu persatu. Abu Bakar menatap mata itu dengan berkaca-kaca. Umar dadanya naik turun menahan nafas dan tangisnya. Ustman menghela nafas panjang dan Ali menundukan kepalanya dalam-dalam.
Isyarat itu telah datang, saatnya sudah tiba “Rasulullah akan meninggalkan kita semua,” desah hati semua sahabat kala itu. Manusia tercinta itu, hampir usai menunaikan tugasnya di dunia.
Tanda-tanda itu semakin kuat, tatkala Ali dan Fadhal dengan sigap menangkap Rasulullah yang limbung saat turun dari mimbar. Saat itu, seluruh sahabat yang hadir di sana sepertinya tengah menahan detik-detik berlalu.
Matahari kian tinggi, tapi pintu rumah Rasulullah masih tertutup. Sedang di dalamnya, Rasulullah sedang terbaring lemah dengan keningnya yang berkeringat dan membasahi pelepah kurma yang menjadi alas tidurnya. Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seseorang yang berseru mengucapkan salam.
“Assalaamu’alaikum… .Bolehkah saya masuk ?” tanyanya.
Tapi Fatimah tidak mengijinkannya masuk,
“Maafkanlah, ayahku sedang demam,” kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu.
Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya kepada Fatimah.
“Siapakah itu, wahai anakku?”
“Tak tahulah aku ayah, sepertinya baru sekali ini aku melihatnya,” tutur Fatimah lembut.
Lalu Rasulullah menatap putrinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Satu-satu bagian wajahnya seolah hendak
dikenang.
“Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. dialah Malaikat Maut,” kata Rasulullah. Fatimah pun menahan tangisnya.
Malaikat Maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tak ikut menyertai. Kemudian dipanggillah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap diatas langit untuk menyambut ruh kekasih Allah dan Penghulu dunia ini. (sepertinya Malaikat Jibril Tidak Sanggup melihat Rasulullah dicabut nyawanya)
“Jibril, jelaskan apa hakku nanti dihadapan Allah?” Tanya Rasulullah dengan suara yang amat lemah.
“Pintu-pintu langit telah dibuka, para malaikat telah menanti Ruhmu, semua pintu Surga terbuka lebar menanti kedatanganmu” kata Jibril.
Tapi itu semua ternyata tidak membuat Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan.
“Engkau tidak senang mendengar kabar ini, Ya Rasulullah?” tanya Jibril lagi.
“Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?”
“Jangan khawatir, wahai Rasulullah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: ‘Kuharamkan surga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada didalamnya’,” kata Jibril.
Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan Ruh Rasulullah ditarik. Tampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang.
“Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini,” ujar Rasulullah mengaduh lirih.
Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril memalingkan muka.
“Jijikkah engkau melihatku, hingga kaupalingkan wajahmu, wahai Jibril?” tanya Rasulullah pada malaikat pengantar wahyu itu.
“Siapakah yang tega, melihat kekasih Allah direngut ajal,” kata Jibril.
Sebentar kemudian terdengar Rasulullah memekik karena sakit yang tak tertahankan lagi.
“Ya Allah, dahsyat maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan kepada umatku.”
Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak membisikan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya.
“Peliharalah shalat dan santuni orang-orang lemah diantaramu”
Di luar pintu, tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan diwajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan.
“Ummatii. ummatii. ummatii.”
“Wahai jiwa yang tenang kembalilah kepada tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya, maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam jannah-Ku.”
‘Aisyah ra berkata: ”Maka jatuhlah tangan Rasulullah, dan kepala beliau menjadi berat di atas dadaku, dan sungguh aku telah tahu bahwa beliau telah wafat.”
Dia berkata: ”Aku tidak tahu apa yg harus aku lakukan, tidak ada yg kuperbuat selain keluar dari kamarku menuju masjid, yg disana ada para sahabat, dan kukatakan:
”Rasulullah telah wafat, Rasulullah telah wafat, Rasulullah telah wafat.”
Maka mengalirlah tangisan di dalam masjid, karena beratnya kabar tersebut, ‘Ustman bin Affan seperti anak kecil menggerakkan tangannya ke kiri dan ke kanan. Adapun Umar bin Khathab berkata: ”Jika ada seseorang yang mengatakan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam telah meninggal, akan kupotong kepalanya dengan pedangku, beliau hanya pergi untuk menemui Rabb-Nya sebagaimana Musa pergi untuk menemui Rabb-Nya.”
Adapun orang yg paling tegar adalah Abu Bakar, dia masuk kepada Rasulullah, memeluk beliau dan berkata: ”Wahai sahabatku, wahai kekasihku, wahai bapakku.” Kemudian dia mencium Rasulullah dan berkata: ”Anda mulia dalam hidup dan dalam keadaan mati.”
Keluarlah Abu Bakar ra menemui orang-orang dan berkata: ”Barangsiapa menyembah Muhammad, maka Muhammad sekarang telah wafat, dan barangsiapa yang menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah kekal, hidup, dan tidak akan mati.”
‘Aisyah berkata: “Maka akupun keluar dan menangis, aku mencari tempat untuk menyendiri dan aku menangis sendiri.”
Inna lillahi wainna ilaihi raji’un, telah berpulang ke rahmat Allah manusia yang paling mulia, manusia yang paling kita cintai pada waktu dhuha ketika memanas di hari Senin 12 Rabiul Awal 11 H tepat pada usia 63 tahun lebih 4 hari.
Shalawat dan salam selalu tercurah untuk Nabi tercinta Rasulullah.
Allahumma shali’alla sayyidina wa mawlana Muhammad….
(www.atjehcyber.net)
Jumat, 21 Oktober 2016
Syafaat Rasulullah Di Padang Mahsyar
"Tuhanku, Penguasaku, Penghuluku, aku tidak meminta untuk diriku. Sesungguhnya aku meminta untuk umatku dari-Mu”
Pernahkah terbayang olehmu, seorang lelaki mulia, yang hidup di tengah kematian demi kematian orang yang dicintainya. Ia diasingkan kaumnya, terusir dari tanah airnya. Ia dihina, disakiti, tapi tinggi tangannya terangkat memohon “Ya Allah, jika mereka tidak menerima da’wah, jadikanlah anak keturunan mereka kelak orang-orang yang menyembah-Mu”.
Pernahkah terbayang olehmu, seorang lelaki mulia, yang hidup di tengah kematian demi kematian orang yang dicintainya. Ia diasingkan kaumnya, terusir dari tanah airnya. Ia dihina, disakiti, tapi tinggi tangannya terangkat memohon “Ya Allah, jika mereka tidak menerima da’wah, jadikanlah anak keturunan mereka kelak orang-orang yang menyembah-Mu”.
Pernahkah
terbayang olehmu, seorang lelaki mulia..yang harus menggantungkan batu
di perutnya demi menahan lapar. Ia akan makan di lantai layaknya seorang
budak, padahal raja-raja dan para kaisar memandang penuh iri pada
kekokohan masyarakat dan kesetiaan pengikutnya. Ia, Lelaki Mulia itu,
Muhammad Bin Abdullah, Rasulullah SAW.
Pernah
suatu ketika Beliau SAW bersabda: “Setiap Nabi memiliki satu do’a yang
tidak akan tertolak. Dan aku menyimpannya untuk umatku di padang Mahsyar
nanti”. Duhai.. betapa Ia begitu mencintai umatnya, kita. Bahkan saat
sedang menahan dahsyatnya sakaratul maut, yang Ia khawatirkan hanya
umatnya.
Disebutkan
dalam sebuah hadist, dari Abbas Ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Orang yang pertama kali dibangkitkan dari kubur di hari kiamat nanti
adalah Muhammad SAW”. Jibril akan datang padanya dengan membawa buraq,
Israfil datang membawa bendera dan mahkota, Izrail datang dengan membawa
pakaian-pakaian syurga.
Israfil
bersuara “Wahai Roh yang baik, kembalilah ke tubuh yang baik, maka
kubur terbelah dua. Pada seruan yang kedua pula, kubur mulai terbongkar.
Pada seruan yang ketiga, ketika Rasulullah SAW berdiri, beliau membuang
tanah di atas kepala dan janggutnya. Beliau melihat kanan dan kiri,
didapati tiada lagi bangunan. Rasulullah SAW menangis sehingga mengalir
air matanya ke pipi.
Beliau SAW bersabda “Kekasihku Jibril, gembirakanlah aku”
Jibril berkata “Lihatlah apa yang ada di hadapanmu”
Rasulullah bersabda “Bukan seperti itu pertanyaanku”
Jibril kembali berkata “Adakah kau tidak melihat bendera kepujian yang terpasang di atasnya”
Rasulullah
SAW bersabda “Bukan itu maksud pertanyaanku, aku bertanya kepadamu akan
umatku. Dimana perjanjian mereka? Niscaya akan kuatlah pertolongan pada
hari ini. Aku akan mensyafa'atkan umatku”
Jibril
menyeru “Wahai sekalian makhluk, datanglah kamu semua ketempat
perhimpunan yang telah disediakan oleh Allah Ta’ala”. Umat-umat datang
dalam keadaan satu-satu kumpulan. Setiap kali Nabi Muhammad SAW berjumpa
satu umat, Beliau SAW akan bertanya, “Di mana umatku?”. Jibril berkata
"Wahai Muhammad, umatmu adalah umat yang terakhir".
Apabila Nabi Isa As datang, Jibril menyeru “Tempatmu!” maka Nabi Isa dan Jibril menangis.
Nabi Muhammad SAW berkata “Mengapa kamu berdua menangis?”
Jibril
berkata “Bagaimana keadaan umatmu, Muhammad?”. Nabi Muhammad kembali
bertanya “Di mana Umatku?” Jibril berkata “Mereka semua telah datang,
mereka berjalan lambat dan perlahan. Saat mendengar cerita demikian,
Nabi Muhammad SAW menangis lalu bertanya “Wahai Jibril, bagaimana
keadaan umatku yang berbuat dosa?”, Jibril menjawab “Lihatlah mereka
wahai Muhammad SAW”
Nabi
Muhammad SAW bertemu umatnya yang berdosa, mereka menangis serta
memikul beban di atas belakang mereka sambil menyeru “Wahai Muhammad”.
Nabi Muhammad SAW bersabda “Wahai Umatku”, mereka berkumpul di sisinya
sambil menangis.
Allah
Ta’ala berfirman di dalam keadaan Dia amat mengetahui sesuatu yang
tersembunyi, “Di mana umat Muhammad SAW”. Jibril berkata “Mereka adalah
sebaik-baik umat”. Allah SWT berfirman “Wahai Jibril, katakanlah pada
kekasih-Ku Muhammad SAW bahwa umatnya akan datang ditayangkan di
hadapan-Ku”. Jibril kembali dalam keadaan menangis lalu berkata: “Wahai
Muhammad, umatmu telah datang untuk ditayangkan kepada Allah SWT. Nabi
Muhammad SAW berpaling ke arah umatnya lalu berkata “Sesunggguhnya kamu
telah dipanggil untuk dihadapkan kepada Allah SWT”
Allah
SWT berfirman: “Hari ini, Kami akan membalas setiap jiwa dengan apa
yang telah mereka usahakan. Hari ini aku akan memuliakan sesiapa yang
mentaati-Ku dan aku akan mengazab sesiapa yang durhaka terhadap-Ku”.
Suara
jeritan dan tangisan semakin kuat. Nabi Muhammad SAW menyeru “Tuhanku,
Penguasaku, Penghuluku, aku tidak meminta untuk diriku. Sesungguhnya aku
meminta untuk umatku dari-Mu”.
Ketika
itu juga neraka jahanam berseru “Siapakah yang memberi syafa’at pada
umatnya?” neraka pun berseru “Wahai Tuhanku, Penguasaku, Penghuluku.
Selamatkanlah Muhammad dan umatnya dari siksa. Selamatkan mereka dari
kepanasanku, bara apiku, penyiksaanku dan azabku, sesungguhnya mereka
adalah umat yang lemah, mereka tidak akan sabar dengan penyiksaan.
Nabi
Muhammad lebih-lebih lagi sedih. Air matanya telah hilang dan kering
dari pipinya. Sekali, Rasulullah SAW sujud di hadapan arsy Allah Swt.
Dan sekali lagi beliau ruku untuk memberi syafa'at bagi umatnya. Para
Nabi melihat keluh kesah dan tangisannya, mereka berkata “Maha Suci
Allah, hamba yang paling dimuliakan Allah ini begitu mengambil berat
keadaan umatnya.
Fatimah bertanya, “Di mana kelak aku hendak mendapatimu di hari kiamat, wahai ayahku”
Rasulullah
menjawab, “Kamu akan menjumpaiku di sebuah telaga, ketika aku sedang
memberi minum umatku. Tatkala Nabi Muhammad sedang mencari mimbar
Rasulullah untuk mendapat syafa'at pada hari kiamat. Mariam, Aisyah,
Khadijah dan Fatimah sedang duduk, ketika Mariam melihat umat Nabi
Muhammad, dia berkata “Ini Umat Nabi Muhammad, mereka telah sesat dari
Nabi mereka”. Rasulullah mendengar perkataan Mariam, semakin sedih. Nabi
Adam berkata kepada Nabi Muhammad SAW “Ini umatmu wahai Muhammad,
mereka berkeliling mencarimu untuk meminta syafa'at”.
Nabi
Muhammad menjerit dari atas mimbar lalu bersabda “Marilah kepadaku
wahai umatku, wahai siapa yang beriman dan tidak melihatku. Aku tidak
pernah lari dari kamu melainkan aku senantiasa memohon kepada Allah
untukmu”. Umat Nabi Muhammad berkumpul di sisinya.
Ketika
di atas sirat, Nabi Muhammad bersabda kepada malaikat Malik: “Wahai
Malik, dengan kebenaran Allah Ta’ala ke atasmu, palingkanlah wajahmu
dari umatku sehingga mereka dapat melintas. Jika tidak hati mereka akan
gemetar apabila melihatmu”. Nabi Muhammad berhenti di atas sirat, setiap
kali ia melihat ada umatnya yang bergayut dan hampir terjatuh, Beliau
akan menarik tangannya dan membangunkannya kembali, Beliau bersabda
“Tuhan, selamatkan mereka”.
Betapa Cintanya Rasulullah SAW pada kita.
Wassalam
Sumber: nastardfabdullah.blogspot.com (dengan beberapa penyesuaian). - See more at: http://nurulmakrifat.blogspot.com/2013/04/tangisan-rasulullah-di-padang-mahsyar.html#sthash.GXwQu7Bf.dpuf
Rabu, 19 Oktober 2016
JEJAK SEJARAH SI PITUNG, JAGOAN DARI TANAH BETAWI
Dji’ih, sepupu yang juga termasuk teman seperjuangan Pitung, juga diyakini tinggal dan dimakamkan di Kemandoran, yang juga masuk wilayah Rawa Belong. Hanya saja, serupa dengan Pitung, tak ada bekas peninggalan yang tersisa tentang sosok Dji’ih yang namanya juga masih harum di seantero Rawa Belong.
Salah satu upaya untuk menjaga kelestarian sejarah Si Pitung dilakukan warga Rawa Belong dengan membangun Lembaga Agama dan Kebudayaan Sanggar Si Pitung, yang didirikan pada 1995. Di sanggar yang terletak di Jalan Yusuf RT 004 RW 011 No 8, Rawa Bellong, Kebon Jeruk, Jakarta Barat inilah, anak-anak serta remaja Rawa Belong menimba ilmu mengaji dan silat khas Rawa Belong. Cingkrik, begitu aliran silat itu tersohor.
Cingkrik adalah silatnya khas Rawa Belong. Istilah cingkrik sendiri muncul dari ungkapan Betawi, yaitu ‘jingkrak-jingkrik- atau ‘cingkrak-cingkrik’, yang berarti gesit dan lincah. Keunikan silat ini adalah pelakunya yang selalu melompat-lompat layaknya kera. Dari gerakan jejingkrakan itulah, nama Cingkrik akhirnya diabadikan.
Di kampung Rawa Belong Cingkrik menjadi besar. Saat ini sedikitnya terdapat 200 murid yang saban hari mengaji dan belajar silat di sanggar. Semuanya tanpa dipungut biaya. Soal darimana pemasukan sanggar, itu berasal dari tiap-tiap undangan yang datang kepada mereka untuk mengisi beberapa acara kebudayaan Betawi ataupun tiap acara pernikahan Betawi yang menginginkan adat Betawi.
MENGENAL SOSOK SI PITUNG
Pitung adalah pahlawan yang sangat melegenda. Dia adalah si bungsu dari iga bersaudara, anak pasangan Piun dan Pinah. Sebagian kalangan meyakini Pitung lahir di Rawa Belong pada 1874. Diyakini pula dia meninggal ada usia 29 tahun, di tahun 1903, di daerah Bandengan Utara, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Sejak kecil dia belajar mengaji dan silat di langgar yang ada di Kampung Rawa Belong.
Versi lain meyakini Pitung lahir di Kampung Cikoneng, Tangerang. Pitung baru bermukim di Rawa Belong saat usia delapan tahun ketika kedua orang tuanya bercerai. Ibunya menolak dijadikan istri tua dan mengajak Pitung hijrah. Sang Ayah, Piun, tetap menetap di Cikoneng bersama istri muda dan tetap bekerja pada tuan tanah Cikoneng.
Sejak remaja, Pitung mengembara ke berbagai wilayah, seperti Tanah Abang, Penjaringan, hingga Banten. Di sana dia menimba ilmu dan memperdalam agama. Masyarakat Betawi saat itu mengenal kewajiban, pemuda Betawi harus bisa mengaji dan jago pukul. Salah satu ilmu yang dipelajari Pitung adalah Rawarontek, yang didapatnya saat berguru kepada Haji Naipin di Kampung Kemayoran.
Rawarontek merupakan ajian dari gabungan tarekat Islam dengan jampi-jampi Betawi. Berkat ilmu itu, konon Pitung menjadi tangguh lantaran mampu menyerap energy musuh-musuhnya. Pitung juga memiliki ajian Halimun, yang membuatnya mampu menghilang dari pandangan lawannya. Kesaktian Pitung makin lengkap saat ia memiliki ajian Pancasona, yang membuatnya kebal dan akan tetap hidup selagi menyentuh tanah.
Aksi si Pitung
dimulai saat sepulang dari Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat. Uang hasil
penjualan kambingnya dirampas kelompok Daeng Marais alias Rais, jawara berdarah
Bugis. Pitung takut pulang ke rumah sebelum uangnya kembali. Dari situ, babak
baru Pitung dimulai.
Aksi kelompok Pitung berlangsung selama 16 bulan, sejak 26 Juni 1892 sampai 19 Oktober 1893. Pitung dan Dji’ih merampok orang-orang kaya yang jahat. Salah satu balas dendamnya adalah dengan merampok harta Haji Syaifuddin, seorang tuan tanah kaya di daerah Marunda, Jakarta Utara. Rumah Haji Sayaifuddin yang diramnpok Pitung itulah yang sekarang ditetapkan sebagai benda cagar budaya DKI Jakarta, dan diberi nama ‘Rumah Si Pitung’.
Hari terakhir si Pitung, mati setelah ditembak dengan peluru emas oleh Schout van Hinne dalam suatu penggerebekan. Peluru emas digunakan karena Pitung dikabarkan kebal dengan peluru biasa. Begitu takutnya penjajah terhadap Bang Pitung sampai tempat dia dimakamkan pun dirahasiakan.
Namun masyarakat Rawa Belong sejak turun temurun percaya makan Pitung berada di sisi kanan depan Gedung Telkom, Jalan Palmerah Utara No 80, Kebayoran Lama, Jakarta Barat. Meski terlihat tak terawat, untuk waktu-waktu tertentu, banyak orang yang datang berziarah di sini.
WANGI PASAR
BUNGA RAWA BELONG
Pasar Rawa Belong bisa menjadi penyegar perjalanan menyusuri jejak Pitung. Konon, selesai berguru kepada Haji Naipin, Pitung pulang ke Rawa Belong. Dia bekerja sebagai pengunduh (penebas) dari pohon-pohon yang panen. Buah-buah yang dipetiknya lantas dijual di pasar ini.
Pasar Rawa Belong kini maju pesat. Pasar yang disebut-sebut ada sejak awal abad ke 19 ini menjadi salah satu primadona Jakarta dan Indonesia. Luas lahannya yang mencapai. 1,4 hektar, Pasar Bunga Rawa Belong dikenal sebagai pusat penjualan bunga terbesar di Asia Tenggara.
Pasar Rawa Belong tepatnya berlokasi di Jalan Sulaiman, Rawa Belong. Letaknya, tak jauh dari pertigaan Rawa Belong yang membelah Rawa Belong lama di Jakarta Selatan dengan Palmerah di Jakarta Barat. Memasuki pasar bunga ini, mata kita langsung dimanjakan jejeran ribuan bunga yang siap dijual. Bunga didatangkan dari berbagai daerah, mulai Cianjur, Blora, hingga dari Jawa Timur. Jika ditotal, ada 700 pedagang di pasar ini yang berjualan secara turun temurun. Pasar Rawa Belong mencatat omzet Rp 40 miliar per tahun dari tiap transaksinya.
RUMAH SI PITUNG DI KAMPUNG MARUNDA
Orang menyebut bangunan rumah panggung model Bugis Melayu yang terletak di Jalan Kampung Marunda Pulo, Kelurahan Marunda, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara ini, sebagai Rumah Si Pitung. Rumah yang mempunyai halama seluas 700 meter persegi ini kondisinya Nampak gagah dan terawatt lantaran baru direnovasi dua tahun silam. Konon, model panggung tak terlepas dari kondisi sejarah Marunda yang awalnya hingga sekarang masih didominasi rawa-rawa yang ditumbuhi pohon bakau. Sebagian rumah warga lainnya juga masih mempertahankan bentuk model rumah seperti ini.
Rumah Pitung didominasi warna cat merah delima. Bangunannya memiliki panjang 24 meter dan lebar 15 meter. Ada sekitar 40 buah tiang setinggi dua meter untuk menopang bangunan ini. Lantaran model panggung, maka kita harus menaiki tangga setinggi tiga meter untuk bisa masuk ke dalam rumah bersejarah ini.
Rumah Si Pitung berlantai kayu papan. Di pintu masuk, tertulis pengunjung tak lebih dari lima orang sekali masuk, agar lantai tidak ambruk. Akses masuk an keluar dibuat pada satu pintu, yakni dari teras depan rumah. Di sinilah ‘Bang Pitung’ menyambut. Bagian teras diisi meja bulat plus kursi serta empat stoples khas Betawi. Manekin (patung peraga) di teras ini menjadi pencuri perhatian bagi siapa pun yang datang. Pitung digambarkan dengan kostum dan peci hitam serta sarung hijau menggantung di leher.
Bangunan panjang ke belakang. Terdapat satu kamar tidur dan masing-masing satu ruang makan dan dapur. Di dalam rumah pun terdapat beberapa perabot gaya Betawi, seperti meja dan kursi makan kuno dengan teko kendi berbahan tanah liat, tempat tidur lengkap dengan kelambu, peralatan dapur, alat musik khas Betawi, dan congklak yang diletakkan di ruang tengah bangunan.
Dari lantai menuju langit-langit, bangunan ini hanya setinggi tiga meter. Harus sesekali merunduk jika melangkah melewati kayu peyangga atap. Di dinding kayu sekeliling rumah, terdapat panel yang memuat kisah si Pitung yang dikutip dari artikel “Si Pitung, Perampok atau Pemberontak”, yang ditulis buayawan Ridwan Saidi pada 2009.
Dari informasi di dinding itulah, kesejatian bangunan ini didapat. Walaupun diberi nama Rumah Si Pitung, sejatinya bangunan ini bukan rumah kelahiran atau milik keluarga Pitung. Rumah panggung yang tak jauh dari Rumah Susun Marunda ini sebenarnya milik Haji Syaifuddin, seorang tuan tanah asal Bugis yang rumahnya sempat dijarah Pitung dan kawanannya. Selain merampok, di rumah ini Pitung juga sempat bersembunyi untuk beberapa malam.
Meski sudah berulang kali direnovasi, tetap ada beberapa bagian lainnya yang tetap dipertahankan. Yang asli adalah empat tiang di teras depan rumah serta beberapa jendela dan gagang pintu yang masih dipertahankan nilai sejarahnya.
Di sebelah Rumah Si Pitung terdapat dua bangunan baru, yang dibangun pada tahun 2010, dengan arsitektur serupa. Bangunan pertama rencananya untuk perpustakaan. Sementara bangunan kedua digunakan untuk kantin.
MASJID SI PITUNG DI MARUNDA
Kampung Marunda Pulo memiliki masjid tertua tempat si Pitung sempat singgah dan menuaikan sholat, Masjid Al Alam Marunda. Kehadiran Pitung membuat masjid ini dikenal dan tersohor dengan nama Masjid Si Pitung.
Masjid Al Alam berdiri sekitar abad ke 16. Posisinya masih di Kampung Marunda Pulo, namun lebih dekat menuju bibir Pantai Marunda, Jakarta Utara. Jaraknya hanya 200 meter dari Rumah Si Pitung.
Dalam beberapa catatan sejarah, masjid ini dibangun Fatahillah pada 1527. Cerita waga setempat secara turun temurun, konon Masjid Al Alam ini hanya dibuat dalam satu malam. Arsitekturnya mengingatkan kita pada bangunan Masjid Agung Demak.
Bentuk bangunan masih dipertahankan aslinya. Masjid ini ukurannya tak lebih dari mushala, luasnya 64 meter persegi (8 x 8 meter). Peninggalan orisinal, terdapat pada empat pilar besar bantet penyangga masjid. Empat pilar konon mengandung filosofi pegangan hidup umat manusia : Islam, iman, ilmu, dan amal.
Dulunya,
Pitung menggunakan masjid ini untuk bersembunyi. Di masjid ini dia bisa tak
terlihat dari kejaran kompeni (Belanda). Masjid ini hanya setinggi empat meter
dari lantai menuju langit-langit. Mungkin cukup terasa pengap sebelum pengelola
meletakkan kipas angina di sisi atas dan sudut masjid. Catatan sejarah yang
mengiringi perjalanan rumah Allah ini membuat Masjid Al Alam menjadi lokasi
ziarah favorit para pengunjung senusantara. Biasanya, pengunjung tumplek pada
saat hari-hari raya Islam, termasuk Idul Fitri.
Tak lengkap pula rasanya jika berkunjung ke masjid ini tanpa mengambil air wudhu di Sumur Tiga Rasa. Sumur kecil yang terletak persis di sisi sebelah kiri masjid. Nama sumur diambil lantaran airnya memiliki tiga rasa : asin, pahit, dan payau rasa air rawa.
Sejumlah penduduk meyakini, atas izin Allah, air di sumur ini juga berkhasiat untuk menyembuhkan segala macam penyakit. Pertama kali cicip, mungkin akan berasa air tawar, kedua kalinya akan berasa tawar layaknya air tanah. Begitu juga ketika kembali mengambil air untuk ketiga kalinya, airnya akan berubah menjadi asin. Hal ini mungkin terjadi lantaran posisi sumur yang berada di antara tiga pertemuan : rawa, air tanah, dan air pantai. Dulunya sumur ini hanya berupa kolam. Kemudian oleh pengelola masjid dirapihkan dan diubah menjadi sumur karena banyak yang mengambil air wudhu di tempat ini.
PANTAI MARUNDA
Pantai Marunda berada 50 meter di belakang Masjid Al Alam. Lokasinya menjadi salah satu tempat favorit wisata air di Jakarta Utara. Konon, Pitung juga sempat menghabiskan waktu di pantai ini untuk merenung dan mengasingkan diri. Pantai ini tak ada pasir karena pinggiran pantai sudah dibangun dinding beton.
Pemandangan indah akan terlihat sore hari saat kapal-kapal tongkang dari pelabuhan bersandar tak jauh dari pantai. Di pantai ini, juga ada menu favorit penganan yang dibuat dari bahan ikan-ikanan. Mulai dari ikan bakar, goreng, pecak, hingga bumbu rujak, ada semua di sini. Para pedagang makanan berjejer sepanjang bibir pantai dengan menyediakan jejeran meja untuk santap hidangan. Untuk tarif masuk pantai, cukup rogoh kocek Rp 2000.
MASJID AL ATIQ DI KAMPUNG MELAYU BESAR
Dalam kisahnya, Pitung sempat berhasil lolos dari Penjara Meester Cornelis pada 1891. Setelah lolos berkat kekuatan tenaga dalam, Pitung menyusuri Kali Ciliwung dan sempat singgah di masjid Al Atiq yang terletak di Jalan Masjid, Kampung Melayu Besar, Tebet, Jakarta Selatan. Konon, berdasarkan cerita dari turun temurun, masjid ini memiliki karamah yang mampu membuat tempat ibadah ini tak mampu dimasuki bala tentara Belanda.
Salah satu versi menyebutkan, masjid ini pertama kali dibangun pada abad ke 16 oleh sultan pertama Banten, Maulana Hasanuddin, yang berkuasa pada 1552-1570. Arsitekturnya serupa dengan Masjid Al Alam Marunda dan Masjid Agung Demak.
bersumber http://indonesia-feature.blogspot.co.id
Kamis, 13 Oktober 2016
Fakta Sejarah tentang Si Pitung yang Jarang Diketahui
Kisah
Si Pitung menggambarkan sosok pendekar tempo doeloe. Ia adalah seorang
pembela kebenaran ketika menghadapi ketidakadilan yang ditimbulkan oleh
penguasa pada zamannya. Kisahnya diyakini nyata keberadaannya oleh para
tokoh masyarakat, terutama di daerah tempat asalnya. Disana masih
terdapat rumah dan masjid lama miliknya.
Pitung adalah salah satu pendekar asli Indonesia yang berasal dari daerah Betawi, yaitu dari kampong Rawa Belong, Jakarta Barat. Pitung dididik oleh kedua orang tuanya dan diharapkan menjadi orang yang saleh dan taat beragama. Ayahnya, Bang Piun dan ibunya mpok Pinah menitipkan si Pitung kecil untuk belajar mengaji dan mempelajari bahasa Arab kepada Haji Naipin. Setelah dewasa si Pitung melakukan gerakan memberontak bersama teman-temannya karena tidak tega melihat rakyat miskin yang tertindas. Untuk itu ia bergeriliya, merampas dan merampok harta-benda orang-orang kaya, dan membagikan hasil rampasannya itu kepada rakyat miskin yang memerlukannya.
Hampir dalam setiap perkelahian membela kebenaran, si Pitung dikabarkan selalu muncul sebagai pemenangnya. Semua lawan dilibasnya terutama mereka yang mau unjuk gigi memeras dan menzalimi kaum miskin Betawi. Ulah dan keberanian Pitung itu tak pelak menimbulkan perasaan was-was di kalangan para pemuka Belanda dan para dedengkot (penguasa dan pengusaha) yang hidupnya sudah terlanjur enak. Jagoan kelahiran Rawa Belong inipun akhirnya dicap sebagai gembong pembawa kerepotan dan keonaran oleh pemerintah colonial Belanda di Batavia, termasuk gubernur jendralnya. Si pitung dianggap memiliki potensi menghasilkan kerawanan karena mengganggu stabilitas keamanan dan ketertiban.
Maka berbagai macam cara dan strategi dilakukan pemerintah Hindia-Belanda untuk menangkapnya: hidup atau mati. Pitung ditetapkan sebagai orang yang kudhu dicari dengan status penjahat kelas wahid di Betawi. Dalam suatu gelar perkara yang dinamakan ‘turun tikus’, si pitung menjadi sasaran utuma bidikan belanda ketika membela rakyat jelata dengan berdiri di baris depan gerakan petani.
Dalam kejadian ini rakyat dikerahkan untuk membasmi tikus di sawah-sawah di samping harus melakukan belasan kerja rodi (paksa). Ditambah dengan kewajiban blasting (pajak) yang dibenarkan oleh para tuan tanah, para petani Betawi tak sanggup menahan azab. Akhirnya, si Pitung turun tangan untuk membela gerakan petani. Si Pitung, yang sudah bertahun-tahun menjadi incaran Belanda, berdasarkan cerita Rakyat, mati setelah ditembak dengan peluru emas oleh schout van Hinne dalam suatu penggerebekan karena dikhianati. Seorang mata-mata telah memberi tahu tempat persembunyiannya.
Ia ditembak dengan peluru emas oleh schout (setara kapolres) karena dikabarkan kebal terhadap peluru biasa. Begitu akutnya Belanda kepada si Pitung, sampai-sampai tempat pemakamannya pun dirahasiakan. Kematian sang jago silat yang menjadi idolea masyarakat ini memang dapat menimbulkan pengaruh luas.
Si Pitung sejak kecil belajar mengaji di langgar (musala) di kampong Rawa Belong. Dia, menurut istilah Betawi, ‘orang yang denger kate’. Dia juga ‘terang hati’, cakep menangkap pelajaran agama yang diberikan ustadz-nya, sampai mampu membaca (tilawah) Alquran. Selain belajar agama dengan H. Naipin, Pitung –seperti warga Betawi lainnya-juga belajar ilmu silat. H Naipin, selain guru tarekat juga guru maen pukulan.
Suatu ketika diusia remaja-sekitar usia 16-17 tahun- oleh ayahnya, Pitung disuruh menjual kambing ke Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat. Dari kediamannya di Rawa Belong ia membawa lima ekor kambing naik gerobak. Ketika dagangannya habis dan hendak pulang, Pitung dibegal oleh beberapa penjahat pasar. Karena takut, ia tidak berani pulang ke rumah. Ia tidur di langgar dan kadang-kadang di kediaman gurunya H Naipin. Ini sudah menjadi tekadnya, tidak akan pulang ke rumah sebelum berhasil menemukan hasil jualan kambingnya. Dengan tekadnya itu, ia makin tekun mendalami ilmu maen pukulan dan ilmu tarekat-nya. Ilmu pukulannya yang bernama aliran syahbandar menjadi andalannya. Kemudian Pitung melakukan meditasi alias bertapa dengan tahapn berpuasa 40 hari lamanya. Kemudian ia melakukan ngumbara atau perjalanan guna menguji ilmu dan kedigjayaan. Ngumbara dilakukan ke tempat-tempat yang ‘menyeramkan’, yaitu ke tempat-tempat persembunyian kawanan ‘begal’-perampok, pencuri, pencoleng, dan sebangsanya.
Salah satu ilmu kesaktian yang dipelajarinya disebut Rawa Rontek. Ilmu ini adalah gabungan antara tarekat Islam dan jampe-jampe Betawi. Dengan menguasai ilmu ini Pitung dapat menyerap energi lawan untuk melumpuhkannya. Lawan-lawannya akan dibuat seolah-olah tidak melihat keberadaannya. Karena itu ia digambarkan seolah-olah dapat menghilang. Namun, menurut cerita rakyat, dengan ilmu kesaktian Rawa Rontek itu, Pitung sebagai jagoan tidak boleh menikah. Maka, sampai akhir hayatnya ketika tewas tertembus mimis (peluru) Belanda, ketika usianya menjelang 40 tahun, Pitung masih tetap mem-bujang. Bujang lapuk istilah populernya.
Si Pitung mendapat sebutan ‘Robinhood’ asal Betawi, karena memiliki sifat sama dengan si jago panah dari hutan Sherwood, Inggris, itu. Selama kariernya di dunia ‘jagoan’ ia juga dikenal sebagai perampok dan ‘begal’ kelas kakap oleh para musuhnya. Namun, seperti halnya Robinhood, ia tidak pernah memakan sendiri hasil jerih payahnya. Sebagian dari hasil rampokannya di rumah-rumah Kompeni dan para tuan tanah, diberikannya pada rakyat kecil yang tertindas. Pitung pernah digrebek oleh scout van Hinne dan pasukannya. Setelah seluruh isi rumah diperiksa, ternnyata petinggi polisi itu tidak menemukannya. Si Pitung menhilang seperti ditelan bumi. Setelah van Hinne pergi, barulah si Pitung tiba-tiba nongol di dapur. Kejadian seperti itu sudah sering dialami Belanda ketika hendak menangkapnnya. Maka, muncullah cerita si Pitung memiliki ajian dapat ‘menghilang’ secara sempurna.
Dengan tubuhnya yang kecil, Pitung juga dikenal pandai menyembunyikan diri. Ia bias menyelinap di sudut-sudut yang terlalu sempit bagi orang lain sebayanya. Dalam gerakan penangkapan yang telah diatursedemikian rupa oleh Belanda, Pitung selalu meloloskan diri dengan cara yang menakjubkan. Selain itu, Pitung juga dikenal memiliki ilmu kebal tubuh. Ia kebal terhadap segala macam senjata tanjam maupun senjata api.
Kendati demikian, kompeni Belanda tidak kehilangan akal. Pemimpin pasukan Belanda van Himme segera mencari guru spiritualnya, Haji Naipin. Dipaksa mengaku setelah disandera dan ditodong senjata laras panjang, guru mengaji dan ilmu bela diri itu akhirnya menyerah dan memberitahu titik lemah kesaktian anak didiknya. Setelah mengetahui tempat tinggal si Pitung berkat kerjasama dengan mata-mata, Belanda akhirnya menyergap si Pitung dengan tiba-tiba. Pitung yang tidak sempat melakuakn perlawanan, tewas diterjang peluru Belanda karena titik lemahnya telah dibocorkan oleh guru mengajinya.
Pada Oktober 1893, rakyat Betawi di kampung-kampung berkabung setelah mendengar dari mulut ke mulut tentang kematian pahlawannya itu. Mereka mendengar si Pitung atau Bang Pitung telah meniggal dunia, karena ditembak Belanda dalam suatu pertarungan yang tidak berimbang. Bagi warga Betawi, kematian si Pitung telah menggoreskan luka yang dalam. Bagi mereka, Pitung adalah pahlawan sejati, pembela kaumnya yang tertindas. Sebaliknya, bagi Belanda, Pitung adalah sosok kriminal yang ditakuti. Karenanya ia harus mati, sebagai penjahat, pengacau, perampok, dan entah apa lagi. (Sumber: Okezone)
Pitung adalah salah satu pendekar asli Indonesia yang berasal dari daerah Betawi, yaitu dari kampong Rawa Belong, Jakarta Barat. Pitung dididik oleh kedua orang tuanya dan diharapkan menjadi orang yang saleh dan taat beragama. Ayahnya, Bang Piun dan ibunya mpok Pinah menitipkan si Pitung kecil untuk belajar mengaji dan mempelajari bahasa Arab kepada Haji Naipin. Setelah dewasa si Pitung melakukan gerakan memberontak bersama teman-temannya karena tidak tega melihat rakyat miskin yang tertindas. Untuk itu ia bergeriliya, merampas dan merampok harta-benda orang-orang kaya, dan membagikan hasil rampasannya itu kepada rakyat miskin yang memerlukannya.
Hampir dalam setiap perkelahian membela kebenaran, si Pitung dikabarkan selalu muncul sebagai pemenangnya. Semua lawan dilibasnya terutama mereka yang mau unjuk gigi memeras dan menzalimi kaum miskin Betawi. Ulah dan keberanian Pitung itu tak pelak menimbulkan perasaan was-was di kalangan para pemuka Belanda dan para dedengkot (penguasa dan pengusaha) yang hidupnya sudah terlanjur enak. Jagoan kelahiran Rawa Belong inipun akhirnya dicap sebagai gembong pembawa kerepotan dan keonaran oleh pemerintah colonial Belanda di Batavia, termasuk gubernur jendralnya. Si pitung dianggap memiliki potensi menghasilkan kerawanan karena mengganggu stabilitas keamanan dan ketertiban.
Maka berbagai macam cara dan strategi dilakukan pemerintah Hindia-Belanda untuk menangkapnya: hidup atau mati. Pitung ditetapkan sebagai orang yang kudhu dicari dengan status penjahat kelas wahid di Betawi. Dalam suatu gelar perkara yang dinamakan ‘turun tikus’, si pitung menjadi sasaran utuma bidikan belanda ketika membela rakyat jelata dengan berdiri di baris depan gerakan petani.
Dalam kejadian ini rakyat dikerahkan untuk membasmi tikus di sawah-sawah di samping harus melakukan belasan kerja rodi (paksa). Ditambah dengan kewajiban blasting (pajak) yang dibenarkan oleh para tuan tanah, para petani Betawi tak sanggup menahan azab. Akhirnya, si Pitung turun tangan untuk membela gerakan petani. Si Pitung, yang sudah bertahun-tahun menjadi incaran Belanda, berdasarkan cerita Rakyat, mati setelah ditembak dengan peluru emas oleh schout van Hinne dalam suatu penggerebekan karena dikhianati. Seorang mata-mata telah memberi tahu tempat persembunyiannya.
Ia ditembak dengan peluru emas oleh schout (setara kapolres) karena dikabarkan kebal terhadap peluru biasa. Begitu akutnya Belanda kepada si Pitung, sampai-sampai tempat pemakamannya pun dirahasiakan. Kematian sang jago silat yang menjadi idolea masyarakat ini memang dapat menimbulkan pengaruh luas.
Si Pitung sejak kecil belajar mengaji di langgar (musala) di kampong Rawa Belong. Dia, menurut istilah Betawi, ‘orang yang denger kate’. Dia juga ‘terang hati’, cakep menangkap pelajaran agama yang diberikan ustadz-nya, sampai mampu membaca (tilawah) Alquran. Selain belajar agama dengan H. Naipin, Pitung –seperti warga Betawi lainnya-juga belajar ilmu silat. H Naipin, selain guru tarekat juga guru maen pukulan.
Suatu ketika diusia remaja-sekitar usia 16-17 tahun- oleh ayahnya, Pitung disuruh menjual kambing ke Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat. Dari kediamannya di Rawa Belong ia membawa lima ekor kambing naik gerobak. Ketika dagangannya habis dan hendak pulang, Pitung dibegal oleh beberapa penjahat pasar. Karena takut, ia tidak berani pulang ke rumah. Ia tidur di langgar dan kadang-kadang di kediaman gurunya H Naipin. Ini sudah menjadi tekadnya, tidak akan pulang ke rumah sebelum berhasil menemukan hasil jualan kambingnya. Dengan tekadnya itu, ia makin tekun mendalami ilmu maen pukulan dan ilmu tarekat-nya. Ilmu pukulannya yang bernama aliran syahbandar menjadi andalannya. Kemudian Pitung melakukan meditasi alias bertapa dengan tahapn berpuasa 40 hari lamanya. Kemudian ia melakukan ngumbara atau perjalanan guna menguji ilmu dan kedigjayaan. Ngumbara dilakukan ke tempat-tempat yang ‘menyeramkan’, yaitu ke tempat-tempat persembunyian kawanan ‘begal’-perampok, pencuri, pencoleng, dan sebangsanya.
Salah satu ilmu kesaktian yang dipelajarinya disebut Rawa Rontek. Ilmu ini adalah gabungan antara tarekat Islam dan jampe-jampe Betawi. Dengan menguasai ilmu ini Pitung dapat menyerap energi lawan untuk melumpuhkannya. Lawan-lawannya akan dibuat seolah-olah tidak melihat keberadaannya. Karena itu ia digambarkan seolah-olah dapat menghilang. Namun, menurut cerita rakyat, dengan ilmu kesaktian Rawa Rontek itu, Pitung sebagai jagoan tidak boleh menikah. Maka, sampai akhir hayatnya ketika tewas tertembus mimis (peluru) Belanda, ketika usianya menjelang 40 tahun, Pitung masih tetap mem-bujang. Bujang lapuk istilah populernya.
Si Pitung mendapat sebutan ‘Robinhood’ asal Betawi, karena memiliki sifat sama dengan si jago panah dari hutan Sherwood, Inggris, itu. Selama kariernya di dunia ‘jagoan’ ia juga dikenal sebagai perampok dan ‘begal’ kelas kakap oleh para musuhnya. Namun, seperti halnya Robinhood, ia tidak pernah memakan sendiri hasil jerih payahnya. Sebagian dari hasil rampokannya di rumah-rumah Kompeni dan para tuan tanah, diberikannya pada rakyat kecil yang tertindas. Pitung pernah digrebek oleh scout van Hinne dan pasukannya. Setelah seluruh isi rumah diperiksa, ternnyata petinggi polisi itu tidak menemukannya. Si Pitung menhilang seperti ditelan bumi. Setelah van Hinne pergi, barulah si Pitung tiba-tiba nongol di dapur. Kejadian seperti itu sudah sering dialami Belanda ketika hendak menangkapnnya. Maka, muncullah cerita si Pitung memiliki ajian dapat ‘menghilang’ secara sempurna.
Dengan tubuhnya yang kecil, Pitung juga dikenal pandai menyembunyikan diri. Ia bias menyelinap di sudut-sudut yang terlalu sempit bagi orang lain sebayanya. Dalam gerakan penangkapan yang telah diatursedemikian rupa oleh Belanda, Pitung selalu meloloskan diri dengan cara yang menakjubkan. Selain itu, Pitung juga dikenal memiliki ilmu kebal tubuh. Ia kebal terhadap segala macam senjata tanjam maupun senjata api.
Kendati demikian, kompeni Belanda tidak kehilangan akal. Pemimpin pasukan Belanda van Himme segera mencari guru spiritualnya, Haji Naipin. Dipaksa mengaku setelah disandera dan ditodong senjata laras panjang, guru mengaji dan ilmu bela diri itu akhirnya menyerah dan memberitahu titik lemah kesaktian anak didiknya. Setelah mengetahui tempat tinggal si Pitung berkat kerjasama dengan mata-mata, Belanda akhirnya menyergap si Pitung dengan tiba-tiba. Pitung yang tidak sempat melakuakn perlawanan, tewas diterjang peluru Belanda karena titik lemahnya telah dibocorkan oleh guru mengajinya.
Pada Oktober 1893, rakyat Betawi di kampung-kampung berkabung setelah mendengar dari mulut ke mulut tentang kematian pahlawannya itu. Mereka mendengar si Pitung atau Bang Pitung telah meniggal dunia, karena ditembak Belanda dalam suatu pertarungan yang tidak berimbang. Bagi warga Betawi, kematian si Pitung telah menggoreskan luka yang dalam. Bagi mereka, Pitung adalah pahlawan sejati, pembela kaumnya yang tertindas. Sebaliknya, bagi Belanda, Pitung adalah sosok kriminal yang ditakuti. Karenanya ia harus mati, sebagai penjahat, pengacau, perampok, dan entah apa lagi. (Sumber: Okezone)
Senin, 10 Oktober 2016
Manfaat Dibalik Gerakan Wudhu untuk Kesehatan
Wudhu dalam bahasa Arab memiliki arti Bersuci yang
maksudnya adalah mensucikan diri dari segala macam kotoran yang di
lakukan dengan menggunakan air suci yang berati itu bersih, tidak berbau
dan tidak tercemar yang biasanya berasal dari air sumur, sungai, air
lelehan salju, atau air terjun. Wudhu sendiri adalah syarat wajib yang
harus di lakukan sebelum melaksanakan ibadah Shalat bagi umat muslim dan
apa bila tidak di lakukan maka shalat itu tidak sah atau di terima oleh
Allah SWT.
Berikut manfaat gerakan berwudhu bagi kesehatan
\]
Berikut manfaat gerakan berwudhu bagi kesehatan
- Berkumur
- Menghirup Air dengan Hidung (Membersihkan Lubang Hidung)
- Membasuh Wajah
- Membasuh Kedua Tangan
- Mengusap Kepala
- Membasuh Telinga
- Membasuh Kedua Kaki
\]
Langganan:
Postingan (Atom)